Jumat, 17 Februari 2012

Menuju Mandiri di Saat Tua

Masa tua bahagia yang diidamkan banyak orang adalah bisa bermain dengan cucu dan mampu mengerjakan segala sesuatu secara mandiri. Pikun, pelupa, tidak bersemangat, sering bertanya hal yang sama, dan harus meminta bantuan orang lain adalah sederet momok masa tua yang tersandera penyakit demensia.

Penurunan fungsi kognitif otak bisa dihindari dengan memulai investasi kesehatan sejak masa janin, anak-anak, remaja, dan dewasa. Prof Tri Budi W Rahardjo dari Pusat Penelitian Lanjut Usia Universitas Indonesia (UI) menyatakan, apa yang terjadi pada masa tua tak dapat dipisahkan dari asupan gizi, keharmonisan keluarga, aktivitas mengasah otak/pendidikan, dan olahraga yang dijalani seseorang sejak awal kehidupannya.
Hasil penelitian UI bersama Universitas Loughborough Inggris tahun 2006-2011 menunjukkan, kaum lanjut usia (lansia), yakni mereka yang berusia 65 tahun ke atas, di Jakarta memiliki persentase demensia lebih rendah (2,2 persen) daripada warga Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, (6 persen) dan Citengah, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, (6 persen). Diduga, hal ini karena sebagian warga Jakarta berpendidikan lebih tinggi dan kehidupan lebih aktif. ”Otak orang di kota lebih distimulasi berbagai aktivitas yang merangsang untuk bekerja. Jadi cenderung tak mengalami gangguan kognitif di usia lanjut,” kata dia.

Tri Budi mengatakan bahwa penyakit demensia yang sebagian besar diidap kaum lansia sebenarnya bisa dicegah sejak dini. ”Mempersiapkan menjadi lansia yang sehat, salah satunya tidak demensia, harus dimulai dari dalam rahim. Yaitu, dengan kecukupan gizi ibu,” ujarnya. Selanjutnya, pada usia anak-anak, remaja, dan dewasa tercukupi kebutuhan gizinya, rajin berolahraga, serta memiliki kebiasaan membaca, bermain catur, atau mengisi teka-teki silang.

Menurut Tri Budi, gizi berkaitan dengan perkembangan sel otak. Olahraga menyebabkan peredaran darah lancar sehingga mampu menyalurkan zat-zat yang dibutuhkan otak. Sementara itu, bermain catur atau aktivitas yang membutuhkan daya ingat akan membantu menstimulasi otak untuk beraktivitas.

Tri Budi menekankan pentingnya keharmonisan. ”Orang depresi atau tertekan akan terpengaruh daya ingatnya dan bisa membawa ke arah demensia,” ucapnya. Kondisi tertekan atau depresi membuat orang sering melamun dan otak tak bekerja secara baik. Ini bisa membawa orang ke kondisi pseudodemensia (demensia semu).

Jumlah meningkat Menyiapkan masa tua berkualitas sangat penting. Data Komisi Nasional Lanjut Usia Indonesia yang mengutip kajian PBB 2004 dan Jepang 2002 menunjukkan, pada 2050 jumlah lansia (penduduk berusia 60 tahun ke atas) di Indonesia akan mencapai 17,4 persen. Di Jepang 35,7 persen, sedangkan di China 23,6 persen. Bisa dibayangkan kalau sejumlah warga itu menderita demensia. Dampaknya, beban hidup keluarga dan kelompok produktif di masa itu menjadi bertambah.

Kepala Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran UI Diatri Nari Lestari memaparkan, pencegahan demensia salah satunya bisa dilakukan dengan gaya hidup dan pola makan baik. Di Indonesia, demensia banyak ditemukan pada pasien dengan gangguan vaskuler (pembuluh darah), seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), kolesterol tinggi, diabetes, dan jantung.

Oleh karena itu, penderita demensia kini tak hanya terbatas orang tua. Pada usia produktif pun demensia bisa menghantui. Ia mencontohkan penderita hipertensi bisa mengalami kerusakan pembuluh darah di otak. Gilirannya akan mengurangi asupan gizi dan oksigen ke otak sehingga mengurangi fungsi kognitif.

Apabila berlanjut ke bagian otak lain bisa menyebabkan dampak yang lebih parah. Misalnya, gangguan pada otak bagian depan bisa mengubah perilakunya. Adapun fungsi otak bagian samping untuk memori/mengingat dan otak bagian depan-bawah untuk kontrol diri. Otak depan bagian samping untuk proses berpikir, perencanaan, penilaian, dan berpikir abstrak. Otak depan bagian tengah untuk motivasi dan inisiasi.

Demensia yang dipicu gangguan vaskuler bisa diobati agar tak kian parah sepanjang pembuluh darah belum mati. Diatri memberi contoh, jika otak bagian belakang sebelah kiri mengalami gangguan karena stroke, gejalanya adalah tidak bisa membaca. Kalau pembuluh darah daerah ini masih cukup baik, bisa diselamatkan dengan obat-obatan.

Kalau pembuluh darah sudah rusak, lanjut Diatri, disabilitas tersebut bisa diatasi dengan belajar membaca dengan cara diraba. Hal ini berbeda dari membaca huruf braile. Yaitu, tangan mengikuti apa yang dilihat dengan modalitas sensorik gerak. Dengan terapi tekun, penderita bisa membaca tanpa meraba, tetapi dengan gerakan kepala yang mengikuti bentuk tulisan.

”Kalau penyebabnya stroke, biasanya penyembuhan paling cepat pada triwulan pertama. Karena itu, dalam triwulan pertama harus maksimal stimulasinya. Setelah itu grafik perbaikannya tak terlalu tajam lagi,” katanya.
Menurut Diatri, penyakit demensia juga bisa disebabkan tumor atau infeksi pada otak. Apabila tumor diobati, penyakit demensia bisa sembuh. Ia pernah menangani pasien tumor otak yang kemampuan motorik dan kognitifnya sangat buruk. ”Akan tetapi, setelah diterapi radiologi, berangsur-angsur kemampuan kognitifnya membaik,” kata dia.

”Alzheimer”
Secara alami, proses degenerasi dialami setiap manusia ketika memasuki usia lebih dari 40 tahun dan penurunan kognitif pada usia lebih dari 50 tahun. Namun, pada beberapa kasus degenerasi berjalan terlalu cepat sehingga menyebabkan demensia.

Demensia generatif yang paling familiar adalah alzheimer disease (AD). Gejalanya, penderita pikun berat, perilaku berubah, dan kehilangan kontrol, semisal buang air di celana. ”Sampai sekarang belum diketahui penyebabnya,” kata Diatri. Selama ini yang bisa dilakukan adalah mengerem laju degenerasi dengan obat-obatan simtomatis (untuk mengatasi gejala).

Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika keluarga lebih dini membawa lansia ke klinik neurologi. Tanda-tanda awal, seperti mudah lupa dan bertanya hal yang sama berulang kali merupakan indikasi mild cognitive impairment (MCI), yaitu penurunan kognitif, tetapi belum mengganggu aktivitas. ”Pada populasi MCI, biasanya risiko untuk terjadi demensia 6-25 persen per tahun. Diperkirakan 3-5 tahun setelah didiagnosis, 50 persen penderita menjadi demensia,” kata Diatri.

Namun, pandangan umum warga bahwa kepikunan adalah hal biasa menyebabkan keluarga penderita jarang membawa ke fasilitas kesehatan. Keluarga baru membawa penderita ke klinik medis ketika gangguan parah dan membebani. Dalam penanganan, pasien akan diuji secara psikologis dengan tes pertanyaan dan pemetaan otak melalui scan (magnetic resonance imaging/MRI). Hal ini bertujuan mengetahui seberapa parah kerusakan otak dan gangguan kognitif telah terjadi.

Pada kondisi MCI, keberlanjutan menjadi demensia dapat dicegah dengan terapi dan memperbanyak aktivitas mengasah otak. Diatri memberikan tips bagi karyawan atau pegawai yang telah pensiun untuk mencari kesibukan yang menstimulus otak, seperti membaca, bermain catur, scrabble, mengisi teka-teki silang, sudoku, serta aktivitas fisik, seperti senam.

”Yang paling mudah adalah meminta kaum lansia untuk bercerita tentang masa lalu sehingga memorinya dibangkitkan dan tetap ada sinyal pada sel-sel otak. Kalau tidak pernah dipakai, fungsi otak akan hilang,” katanya.

| Free Bussines? |

Photobucket

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More